Photo: Ilustrasi, Google Red
Penulis: Abdu Rizal S Syam
Ada sebuah ungkapan yang mengatakan, setiap zaman ada orangnya dan setiap orang ada zamannya. Tapi sering kali ada saja yang memaksakan diri dan zamannya pada situasi yang sama sekali berbeda. Dan ironisnya, merasa bangga dengan kebebalan itu.
Suatu hari, di sebuah ruang sempit yang kerap diselimuti asap tembakau, masuk seorang pria dengan wajah dipenuhi bulu berwarna putih. Ia langsung menaruh pantatnya pada kursi di samping saya yang sedang anteng menatap layar laptop.
Tak membutuhkan waktu lama baginya untuk menemukan momentum. Ketika seseorang di dalam ruangan menyinggung salah satu demonstrasi, pria berusia setengah abad ini sontak angkat suara. Dan, yang terjadi selanjutnya sudah bisa ditebak: petuah-petuah membosankan yang diselingi oleh romantisme masa lalu, sekaligus sinisme terhadap pergerakan era kiwari.
“Demo kok kayak begitu. Berapa orang tadi? Tiga puluh? Saya dulu bisa mobilisasi 300 orang!” ucapnya yang sebenarnya tak seorang pun bertanya.
“Gerakan sekarang lemah. Digertak dikit langsung kabur!”
“Kalian lagi, demonstrasi macam tadi kok dibikin beritanya!” katanya menuding setiap orang di dalam ruangan.
Ia tidak tahu bahwa demonstrasi itu sudah enam kali dilakukan, dan tuntutan soal pemerataan pembangunan tak kunjung dipenuhi. Yang ia tahu dan peduli hanyalah perasaan lebih hebat dari generasi saat ini, dan merasa kisah-kisahnya patut diteladani.
Ini bukan pertama kali bertemu dengan orang macam begitu. Nyaris di setiap tempat selalu terselip tipe orang yang entah mengapa hobi sekali menggurui. Menyitir ucapan Zen RS, negeri ini kekurangan guru tapi kelebihan orang yang menggurui.
Orang-orang seperti itu membuat sebuah perbincangan berjalan hambar dan tak berkesan. Sebab obrolan kerap berjalan satu arah, otoritas kebenaran atau moral seakan-akan hanya berada di pundaknya semata.
Sialnya, berada di antara orang-orang tersebut seperti terperangkap di dalam jerat. Perlu trik khusus agar bisa terbebas. Mau ujug-ujug pergi nanti dibilang kurang ajar, tapi duduk dan memasrahkan kuping untuk mendengar tentu sebuah siksaan.
Berdasarkan hasil penelusuran singkat melalui peramban web, saya menemukan istilah ageism yang diperkenalkan oleh Robert N. Butler, ahli gerontologi asal Amerika pada 1969. Secara garis besar, ageisme adalah sikap diskriminasi yang berangkat dari perkara usia. Ada beberapa turunan dari ageisme, termasuk adultism dan adultcentrism. Keduanya sama-sama menentang sikap orang dewasa yang kerap kali menaruh prasangka terhadap orang muda.
Istilah ageisme ini dapat menjadi pegangan bagaimana menilai orang-orang tadi. Bahwa yang lebih muda dianggap tak bijak dalam menilai segala sesuatu, belum berpengalaman atau yang paling parah orang muda kadangkala dianggap tidak memiliki otoritas atas pemikirannya sendiri. Jika seorang anak muda memiliki gagasan yang cenderung berbeda, selalu ada kecurigaan ia ditunggangi oleh kepentingan tertentu. Seakan-akan ia tak mampu menggunakan otaknya sendiri.
Di sekolah atau universitas, kita sangat mungkin bertemu dengan guru maupun dosen yang setipe dengan orang-orang tadi. Jika sebuah perkuliahan memakan waktu dua jam, maka dosen macam ini akan mengisi satu setengah jam dengan ceramah tentang masa lalunya, tentang kesuksesannya.
Saya pernah bertemu dengan dosen yang sebagian besar perkuliahannya diisi dengan cerita bagaimana ia menjadi mahasiswa di luar negeri, serta beberapa pencapaiannya dalam hidup. Alih-alih menginspirasi, cerita itu malah berakhir seperti kaset kusut karena keseringan diulang-ulang. Kaset itu semakin menyakitkan telinga ketika ia, di akhir perkuliahan, selalu membandingkan dirinya dengan para mahasiswa yang mengikuti kelasnya.
Begini hukumnya: apapun yang dilakukan oleh anak muda, peluang untuk terlihat salah oleh generasi yang lebih tua pasti jauh lebih besar. Sebab dalilnya seperti ini: saya lebih dahulu melihat dunia, maka apapun penilaian saya tentang kalian (generasi muda) itu sudah pasti valid. Apa? Dunia berubah? Persetan dengan itu. Kalau kalian membantah berarti kalian durhaka.
Dengan prinsip semacam itu, maka jangan heran jika ada orangtua yang mencak-mencak karena melihat anaknya saban waktu hanya berada di depan laptop. “Bukannya nyari pekerjaan, malah main laptop saja dari tadi!” kata si orangtua. Sementara anaknya, sambil mengelus dada, tetap melanjutkan pengerjaan proyek bernilai jutaan rupiah yang terpampang di layar laptop tersebut.
Pada 2013, majalah TIME menerbitkan edisi berjudul “Me Me Me Generation”, dengan cover yang menampilkan seorang gadis sedang berswafoto. TIME seakan mengumbar hal-hal buruk tentang generasi milenial, mulai dari narsis, gila gadget, hingga manja. Ya, manja. Kata itu sering kali kita dengar akhir-akhir ini, kan?
Kenapa manja? Karena generasi ini dianggap enggan bekerja keras dan cepat merasa bosan. Padahal, menurut CNN Money, generasi ini justru dihadapkan pada situasi yang membutuhkan perjuangan lebih keras agar bisa menghidupi diri sendiri.
Bhima Yudhistira Adhinegara dari Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) malah menyebutkan bahwa alih-alih dimanjakan, generasi milenial di era kiwari justru mesti menanggung utang sebesar Rp 20,5 juta per kepala.
Kendati dihadapkan dengan kebutuhan hidup yang melambung tinggi, hal itu tak berbanding lurus dengan kebaikan upah. Dikutip dari Tirto, Kementerian PUPR mencatat terdapat 81 juta milenial yang terancam tak mampu membeli rumah. Pertanyaannya, kondisi miris ini apakah semata-mata disebabkan kerja yang kurang keras dari generasi milenial ataukah sistem yang dibentuk oleh generasi sebelumnya?
Lantas, jika jawabannya adalah sistem yang dibentuk oleh generasi sebelumnya yang menyebabkan harga rumah menjadi tak terjangkau, apakah generasi milenial hanya bisa patuh?
Atau, saya ubah pertanyaannya: jika apa-apa yang dihasilkan para orang tua di pemerintahan dirasa merugikan untuk generasi yang akan datang, apakah aneh jika mereka protes? Sederhana saja, apa yang dilakukan oleh generasi sebelumnya tentu membawa dampak pada generasi setelahnya.
Tahun lalu, beberapa saat setelah anak saya lahir, puluhan pesan muncul di layar ponsel. Tapi, ada satu yang menohok. Pesan yang datang dari seorang kawan di Ibu Kota itu berbunyi, “Selamat atas kelahiran anaknya. Jangan jadi orang tua yang menyebalkan ya.”
Tulisan ini sebelumnya terbit di: https://voxpop.id/tua-keniscayaan-menyebalkan-jangan/