
Photo: Ilustrasi (Klikdokter.com)
Penulis: Margaretha Diana
Sejak remaja, perempuan sudah dicekoki oleh orangtua atau orang sekitar tentang mitos bentuk payudara. Ujung-ujungnya cuma satu, biar terlihat menarik di mata para lelaki.
Salah satu mitos seputar payudara yang sering kali didengar anak perempuan adalah penggunaan bra alias beha. Kira-kira begini bunyinya, “Jadi perempuan harus selalu pakai beha biar payudaranya tetap kencang, nggak kendor, biar kelihatan seksi gitu, menarik di mata lelaki.”
Padahal ya, payudara tetap saja bakal kendor alias nggak kencang lagi. Selain karena gravitasi bumi, kita juga nggak bisa melawan hukum alam bernama waktu. Seiring usia, bentuk payudara pasti berubah lah. Belum lagi, kalau punya anak dan menyusui.
Nah, gara-gara takut payudara bakal kendor, melorot, dan dianggap tidak menarik lagi, banyak perempuan yang nggak mau kasih air susu ibu (ASI) ke anaknya. Ada yang bilang, “Suami saya nggak mau saya menyusui anak, takut payudara saya nggak menarik lagi. Kalau nanti suami saya ngelirik perempuan lain, gimana?
Helllooooo…
Begini ya, wahai para suami, kalau memang fungsi payudara perempuan cuma buat pemuas nafsu birahi laki-laki, mengapa pula Tuhan menciptakan tubuh perempuan dengan payudara yang dilengkapi dengan ASI?
Ngakunya sayang anak-istri, tapi nyatanya cuma mau senang sendiri. Bukannya support, malah bikin istri merasa insecure. Padahal, di sisi lain, pemberian ASI kepada anak juga bisa melindungi istrimu dari risiko kanker payudara. Ini fakta, bukan kaleng-kaleng. Sayang sama anak-istri, kan?
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ibu menyusui memiliki risiko yang lebih rendah terkena kanker payudara saat premenopause maupun menopause. Selain itu, menyusui menurunkan risiko seorang perempuan terkena kanker ovarium (indung telur). Googling aja banyak kok, jangan kebanyakan baca mitos melulu.
See… kebayang nggak sih manfaat menyusui suami, eh manfaat bagi anak dan istri. Double protection, cyynnn… Belum lagi, risiko mastitis alias peradangan jaringan payudara, karena ASI tak terpakai lalu mengendap. Bisa timbul benjolan dan infeksi. Duh, lagian ngapain sih ASI ditimbun? Mending nimbun duit, eh?
Menyusui juga bisa menghasilkan hormon yang bisa menguatkan hubungan emosional antara ibu dan anak. Semacam terapi diri. Apalagi, perempuan yang sehabis melahirkan terkadang emosinya tidak stabil karena mengalami depresi postpartum atau baby blues syndrome.
Kalau sudah begitu, apa masih mau bilang payudara bisa kendor dan menganggapnya tidak menarik lagi gara-gara menyusui anak? Mikirrr..!!
Semisal, risiko kanker payudara. Jenis penyakit ini tergolong pembunuh perempuan nomor satu di Indonesia. Berdasarkan data Globocan, pada 2018 saja, ada sekitar 58.256 kasus kanker payudara di Indonesia. Setiap tahun, jumlahnya terus meningkat. Dan, menurut catatan WHO, kanker payudara menyumbang 15% penyebab kematian perempuan di seluruh dunia.
Itulah mengapa kita harus benar-benar peduli dengan kesehatan payudara. Bukan cuma perempuan, laki-laki juga. Ini suami-suami belum pernah mencoba pijat payudara ya?
Woiii… ini bukan soal seks.
Tindakan yang sering disebut breast care ini bisa menyelamatkan istri dari risiko mastitis tadi, atau peradangan jaringan payudara. Sebab tindakan yang kadang harus dilakukan setelah istri melahirkan ini sulit dilakukan sendiri oleh istri. Biasanya dengan bantuan suster, atau ya suaminya lah!
Mengurangi pemakaian beha juga bisa menjadi salah satu cara menjaga kesehatan payudara, selain menjalani pola hidup sehat, olahraga, plus jangan lupa gerakan Sadari alias Periksa Payudara Sendiri. Atau, mammografi kalau memang merasa perlu sekali untuk mendeteksi kelainan pada payudara.
Btw, perkara memakai beha, masyarakat kita masih saja ribet bin ribut dengan segala mitos yang ada. Banyak yang menyarankan agar memakai beha dengan ukuran lebih kecil satu cup biar payudara terlihat lebih besar dan seksi. Bisa menghipnotis para lelaki, katanya. Hih!
Padahal, urusan memakai beha yang penting kan terasa nyaman. Harus banget kudu pakai ukuran satu angka lebih kecil? Jelas-jelas, itu bukan hanya menimbulkan trauma pada payudara, tapi juga mengganggu pernapasan lho.
Jadi, kalau mau lebih sehat, mulailah sering-sering melepas beha. Nggak cuma setiap tanggal 13 Oktober saja yang selama ini diperingati sebagai No Bra Day atau Hari Tanpa Bra Sedunia.
Tapi masyarakat kita memang susah sih, belum terbiasa melihat perempuan yang bra-less dalam keseharian. Yang perempuan cenderung julid ke sesama perempuan, sementara lelaki auto-mesum yang sering kali diekspresikan lewat pandangan mata ataupun perkataan.
Ya jangankan orang lain, para orangtua kita saja terutama yang ibuk ibuk nih, entah simbah, ibu, bude, bulik, atau tante bakal ngedumel kalau lihat anak perempuan bra-less meski di rumah. Alasannya klasik, takut payudara kelihatan kendor, melorot, sehingga dikira sudah nggak perawan lagi. Ujung-ujungnya balik lagi takut nggak ada lelaki yang mau menjadikan istri.
Hadeh, memang harus banget ya memiliki tubuh ‘sempurna’ cuma buat nyenengin mata lelaki?
Ini nih, satu lagi mitos seputar keperawanan yang dikaitkan dengan bentuk payudara. Katanya, kalau mau tahu perempuan masih perawan atau nggak, lihat saja bentuk payudaranya. Kalau masih kencang, tegak, berarti masih perawan. Kalau sudah melorot, apalagi besar, itu berarti sudah nggak perawan. Sudah sering juga diremas oleh tangan lelaki, itu tandanya perempuan nakal.
Pernah dengar mitos semacam itu, nggak? Malesin banget kan?
Padahal, bentuk dan ukuran payudara setiap perempuan berbeda-beda. Nggak bisa dong kita nge-judge dia itu perempuan nakal hanya karena payudaranya besar dan agak turun ke bawah. Mitos-mitos itu semakin melanggengkan stigma bahwa perempuan hanya sebagai objek pemuas hasrat seks laki-laki. Pun, bisa merusak kepercayaan diri perempuan.
Jadi, nggak usah pada ribet dan sok-sokan soal bentuk payudara perempuan deh. Tubuhku, otoritasku. Senyaman-nyamannya, sebahagia-bahagianya.
Tulisan ini sebelumnya sudah terbit di; https://voxpop.id/kau-anggap-payudara-pemuas-nafsu-birahi-lantas-buat-apa-ada-asi/