Semakin Terasing Gara-gara Pandemi, Apa yang Bisa Kita Sadari? - Utustoria Semakin Terasing Gara-gara Pandemi, Apa yang Bisa Kita Sadari? - Utustoria

Semakin Terasing Gara-gara Pandemi, Apa yang Bisa Kita Sadari?

1608
Spread the love

Photo: Ilustrasi Pandemi (Bobobox.co.id)

Penulis: Aura Asmaradana

Saat-saat menjelang tidur malam sering kali bersifat ajaib, termasuk bedtime chats yang beberapa kali justru bikin tidak bisa tidur!

Satu malam, si bungsu mengeluh gatal dan menuntut saya untuk terus menggaruk beberapa bentol di kakinya. Sore sebelumnya, dia bermain di halaman rumah dengan batu-batu dan genangan air di got yang ternyata merupakan tempat kongkow nyamuk dan beberapa jenis serangga lain.

“Kalau suka main di alam, kita harus terbiasa siap untuk segala macam kemungkinan buruk,” ujar saya – untuk tidak mengatakan padanya, “Mama pegal nih. Garuk sendiri, sayang.”

Saya buru-buru menambahkan contoh konkret sebelum pikiran anak jadi ruwet karena nasihat mamanya sangat abstrak.

“Ketika mendaki gunung, misalnya, hujan bisa tiba-tiba turun ketika tenda belum siap, kita bisa terpeleset, digigit pacet, ketemu babi hutan (meski ‘babi’ di kota lebih ganas, Nak – dalam hati), dan tertusuk ranting. Semua itu harus diselesaikan dengan perlengkapan seadanya dan tanpa bantuan orang lain.”

Sambil diam-diam mengenang beberapa pengalaman selama mendaki gunung, saya tiba-tiba merasa rindu berada di tengah alam liar. Di tempat itulah segala ketidakterdugaan terjadi. Hingga awal tahun 2020, dorongan untuk singgah di alam liar bisa selesai dengan membeli tiket bus, kereta, atau pesawat. Belakangan, gara-gara pandemi, hal itu jadi mustahil.

VOXPOP
Beranda Populi
Semakin Terasing Gara-gara Pandemi, Apa yang Bisa Kita Sadari?
By Aura Asmaradana – 22 September 2020

Ilustrasi pandemi (Photo by Two Dreamers from Pexels)
Saat-saat menjelang tidur malam sering kali bersifat ajaib, termasuk bedtime chats yang beberapa kali justru bikin tidak bisa tidur!

Satu malam, si bungsu mengeluh gatal dan menuntut saya untuk terus menggaruk beberapa bentol di kakinya. Sore sebelumnya, dia bermain di halaman rumah dengan batu-batu dan genangan air di got yang ternyata merupakan tempat kongkow nyamuk dan beberapa jenis serangga lain.

“Kalau suka main di alam, kita harus terbiasa siap untuk segala macam kemungkinan buruk,” ujar saya – untuk tidak mengatakan padanya, “Mama pegal nih. Garuk sendiri, sayang.”

Saya buru-buru menambahkan contoh konkret sebelum pikiran anak jadi ruwet karena nasihat mamanya sangat abstrak.

“Ketika mendaki gunung, misalnya, hujan bisa tiba-tiba turun ketika tenda belum siap, kita bisa terpeleset, digigit pacet, ketemu babi hutan (meski ‘babi’ di kota lebih ganas, Nak – dalam hati), dan tertusuk ranting. Semua itu harus diselesaikan dengan perlengkapan seadanya dan tanpa bantuan orang lain.”

Sambil diam-diam mengenang beberapa pengalaman selama mendaki gunung, saya tiba-tiba merasa rindu berada di tengah alam liar. Di tempat itulah segala ketidakterdugaan terjadi. Hingga awal tahun 2020, dorongan untuk singgah di alam liar bisa selesai dengan membeli tiket bus, kereta, atau pesawat. Belakangan, gara-gara pandemi, hal itu jadi mustahil.

Baca juga: Anak-anak Jadi Nggak Kritis, Orang Tua Memang Lebih Menyukai Itu

Pandemi membuat hidup manusia terkungkung tembok dan halaman rumah yang artifisial. Dalam keadaan seperti ini, terasa sekali pandemi menjadi benteng yang sangat tinggi dan kokoh di antara manusia dan alam.

Dalam kehidupan sebelum pandemi saja, banyak manusia yang diculik oleh rutinitas hingga lupa bahwa dirinya punya kaitan dengan alam; lupa bahwa alam yang mengakomodasi hidup manusia; lupa bahwa manusia dan alam seharusnya merupakan harmoni.

Sekarang, sosialisasi harus pakai jarak aman, nafas dan senyum terhalang masker, siklus harian dan gaya hidup berubah. Maka ada dua opsi, manusia semakin terasing dari alam atau justru semakin baper terhadap relasi dirinya dengan alam.

Dengan cara memberi batas tegas antara manusia dengan pohon, taman kota, angin sepoi-sepoi, oksigen berlimpah, virus corona seperti menegur manusia, “Hei, apa kamu yakin bisa baik-baik saja tanpa kebaikan ekosistem alam?”

Ketika manusia punya pengalaman bahwa hidup harmoni dengan alam adalah baik, maka manusia bisa sadar bahwa sesungguhnya keterkaitan antara pandemi dengan ekosida (ecocide) sangat masuk akal. Hanya mungkin konsep ekosida sebagai sebuah kejahatan besar belum terdistribusikan dengan cara yang tepat dan beragam.

Secara umum, ekosida dimaknai sebagai perusakan lingkungan hidup alam yang dilakukan secara sengaja dan/atau dengan kelalaian melalui berbagai aktivitas manusia yang pada akhirnya membahayakan kehidupan manusia.

Meski sudah muncul pada masa sekitar perang Vietnam 1968 dan diskursusnya terus berkembang dari konvensi ke konvensi, tetapi konsep ekosida belum disadari dan diakui sepenuhnya oleh banyak pihak, terutama oleh para pemangku kebijakan. Padahal, sesungguhnya konsep ekosida tidak dapat dipisahkan dari lingkup pertimbangan kebijakan ekonomi-politik. Ketidaksadaran itu menyebabkan kerugian ekologis, yang sering kali dianggap kalah penting dibandingkan kerugian ekonomi.

Pada mulanya, manusia (sekadar) berusaha memenuhi kebutuhan dan keinginan hidup. Seiring berjalan waktu dan berkembangnya teknologi, manusia terjebak dalam lingkaran eksploitasi sumber daya alam. Sebut semua: mulai dari mikroorganisme hingga komponen-komponen abiotik. Semua ingin manusia kuasai, semua ingin manusia miliki.

Dalam buku Ecocide, Memutus Impunitas Korporasi yang dirilis Walhi dan Yayasan Tifa tercatat bahwa industri ekstraktif telah menyimpangkan sekitar 29% lahan bumi, 6% lainnya dikategorikan mengalami penggurunan parah. Hutan tropis yang mencakup 6% luas permukaan kini musnah 7,6 juta hingga 10 juta hektare per tahun.

Bahkan, di tengah pandemi, Conservation International mencatat bahwa peningkatan jumlah perburuan, penyelundupan binatang liar, pembalakan, dan penambangan liar di seluruh dunia ternyata terus terjadi.

Di tengah kegagalan manusia mempertahankan keseimbangan lingkungan hidup, penyakit-penyakit baru bermunculan. Kurang lebih 60% dari seluruh penyakit menular yang mempengaruhi manusia berasal dari hewan.

Hasrat jelajah manusia yang dilengkapi teknologi teranyar memaksa satwa liar bergeser ke tempat-tempat baru. Di tempat baru, mereka berinteraksi dengan spesies yang baru dikenalnya. Pertemuan itu, juga pertemuan dengan manusia, tanpa disadari membuat virus-virus yang tidak kelihatan berevolusi dengan sangat cepat.

Alhasil, ekosida adalah bumerang bagi eksistensi manusia di muka bumi.

Memahami dan mengakui kaitan antara penyakit dengan ekosida seharusnya membantu manusia untuk minimal, survive aja dulu. Sementara itu, pelan-pelan manusia bisa mengembalikan segala sesuatu pada porsinya masing-masing.

Pandemi mengingatkan bahwa banyak hal yang terjadi di luar sana – yang kita pikir tidak ada hubungannya dengan kita sama sekali – ternyata berpengaruh besar bagi hidup sehari-hari. Sebaliknya, ada hal-hal sederhana yang bisa manusia upayakan – yang kita pikir tidak ada hubungannya dengan situasi global – ternyata bisa membantu. Misalnya reboisasi, melindungi habitat di sekitar sungai, pengembangan kerja kehutanan di perkotaan, atau sekadar menjadi tukang kritik kebijakan pemerintah – apalagi di momen umbar janji as known as kampanye.

Tentu saja, seluruh upaya dan kerja itu tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat – sebutlah 5 atau bahkan 10 tahun saja. Kerja itu kelak masih harus diemban anak-cucu generasi saya. Butuh waktu supaya anak saya mengerti bahwa jika ia tidak main lempar batu ke got, maka serangga-serangga di dalamnya tidak akan menyerangnya. Butuh waktu panjang dan kelapangan hati supaya umat manusia paham bahwa penyakit itu bukan sekadar pemberian tiba-tiba dari semesta; bukan tanpa campur tangan umat manusia; bukan karena semesta sedang iseng bercanda.

Di Indonesia, ratusan ribu orang telah terpapar Covid-19. Di dalam kungkungan benteng pandemi, saya semakin intens melamun, berharap bisa segera bebas melawat alam liar lagi.

Tulisan ini sudah terbit juga di Voxpop.id