Photo: Ilustrasi
Penulis: Made Supriatma
Tradisi Itu Diciptakan: Ada perdebatan tentang uang dengan nilai Rp 75 ribu yang sesungguhnya bukan uang. Ada orang yang dengan cermat mengamati bahwa salah satu pakaian-pakaian adat yang dikenakan anak-anak dalam jajaran foto di salah satu sisi uang tersebut sama persis dengan pakaian orang Cina Tiongkok.
Media-media ramai memberikan bantahan. Mereka menunjukkan bahwa itu adalah pakaian adat suku Dayak Tidung di Kalimantan Utara.
Perbincangan tentang Indonesia akhir-akhir ini didominasi oleh pakaian-pakaian adat. Maklum kita sedang merayakan hari Kemerdekaan. Seorang teman di WA group SMA saya membagikan semua “pakaian-pakaian” daerah. Dan tentu semua orang mengglorifikasinya karena memperlihatkan betapa beragamnya kita itu.
Dan semua pakaian-pakaian itu dikenakan oleh model-model yang tentu saja cantik jelita dan ganteng gagah. Semuanya tampak indah.
Presiden Joko Widodo sendiri mendorong hal ini terjadi. Ketika berpidato di depan sidang DPR/MPR/DPD, dia memakai pakaian ‘tradisional’ Sabu. Ketika memimpin upacara bendera di Istana negara, dia memakai pakaian Timor Tengah Selatan. Itu adalah sebuah ‘gesture’ simbolik dari seorang presiden.
Hanya saja, segala macam pakaian dan pernik-pernik itu sesungguhnya tidak ada dalam hidup sehari-hari kita. Benar bahwa kita membayang-bayangkan bahwa pakaian-pakaian itu adalah pakaian kita. Bayangan itu adalah bayangan sinematik, yang sama sekali mangkir (absent) dari hidup sehari-hari kita.
Mungkin sesekali kita melihatnya. Seperti dalam ritus khusus dalam hidup kita, yakni dalam upacara perkawinan. Orang menjadi ratu dan raja sehari tentu dengan kebesaran dan kemegahan yang kita anggap kita akrab dengannya dan menjadi ‘darah’ kebudayaan kita.
Sama seperti itu, presiden mengingat-ingatkan kita bahwa orang Sabu, orang Timor, orang Dayak Tidung, orang Batak, dan lain sebagainya adalah juga warganegara Indonesia. Langkah itu perlu untuk mengingatkan bahwa negara kita ini inklusif — mereka adalah warga negara kita juga.
Ini adalah bagian dari proyek nasionalisme yakni mengajak orang membayangkan kita sebagai satu bangsa.
Cara yang demikian ini persis sama seperti yang dikatakan oleh Michael Billig bahwa nasionalisme itu diingat-ingat dengan cara-cara yang sangat dangkal (banal): dengan menaikkan bendera, dengan parade, dengan hormat, dan kalau di Indonesia mungkin bisa ditambah dengan baris berbaris atau dengan parade pakaian adat. Demikianlah adanya.
Ini sangat kontras dengan pakaian umum keseharian kita. Mayoritas kaum perempuan Indonesia berjilbab untuk pakaian sehari-hari mereka. Bukan dengan gelung-gelung keemasan seperti pakaian-pakaian adat itu. Sementara untuk laki-laki, di luar rumah adalah celana panjang kasual. Semakin kekinian, lelaki Indonesia cenderung memakai celana panjang di atas mata kaki. Kalau di dalam rumah, kaum pria cenderung hanya bersarung saja.
Jadi kita sesungguhnya menciptakan realitas-realitas alternatif (alternate realities). Kita dengan sengaja menciptakan realitas itu untuk membayangkan kesatuan kita dalam keragaman.
Namun dalam kenyataan yang sehari-hari, lagi-lagi, kita harus berhadapan dengan kenyataan bahwa sebagaian besar dari kita sesungguhnya tidak terlalu peduli dengan keragaman itu. Dan semakin hari sesungguhnya ketidakpercayaan kita ketidakberagaman itu menjadi semakin delusional (hei, bukankah simbol-simbol perayaan kemerdekaan ke-75 itu penuh dengan gambar salib?).
Semua parade pakaian-pakaian adat ini mengingatkan saya pada buku lama yang diedit Eric Hobsbawn dan Terrence Ranger. Mereka mengatakan bahwa apa yang sesungguhnya kita anggap tradisional itu seringkali tidak setua yang kita bayangkan. Seringkali dia baru saja diciptakan, baru saja ditemukan, baru saja dikreasikan. Yang lama adalah imajinasi yang ditarik ke kebelakang.
Indonesia tidak terpikirkan pada awal abad 20. Dari berbagai macam tulisan yang terbit hingga tahun 1920 tidak ada orang menyebut Indonesia. Namun hanya dalam beberapa puluh tahun saja, para aktivis (yang sebagian besar kiri itu) menciptakan Indonesia. Dan para intelektual sibuk menghubungkannya dengan masa lalu — kerayaan Indonesia adalah sama dan sebangun dengan Majapahit raya.
Konsep yang semula hanya beredar di lingkaran intelektual dan aktivis ini kemudian di-massa-kan. Dia menjadi gerakan politik. Semula massa-rakyat menangkapn bahwa Indonesia ini akan membebaskan mereka — supaya tidak bayar pajak, supaya tidak kerja rodi, supaya tidak menyembah-nyembah kepada tuan kolonial dan terutama ndoro-ndoro pribumi sebangsa yang kurangajarnya bukan main itu. Itulah sebabnya massa-rakyat ini kemudian mau memberontak, mau bikin revolusi.
Sesudah perjuangan politik ini berhasil, Indonesia kemudian ditubuhkan dalam institusi yang disebut negara — lengkap dengan tentara, polisi, dan pegawai negeri. Sekarang merekalah yang menjadi pemilik sah negara ini.
Jika konsep Indonesia itu sedemikian muda. Imajinasinya tidak hilang. Proyek yang bernama Indonesia itu terus berjalan. Kita semua menerima Indonesia ini. Tidak ada yang mempertanyakan.
Yang menjadi persoalan adalah siapa yang mendefinisikannya? Siapa yang memegang kekuasaan untuk menentukan proyek ini? Siapa yang ‘menemukan’ tradisi-tradisi itu? Siapa yang meseleksi tradisi apa yang boleh dan tidak boleh?
Keberagaman kita adalah keberagaman yang sudah di-kurasi (curated), yang sudah dipilihkan; yang diseleksi. Ingatan kita pun adalah ingatan yang terseleksi secara ketat. Bukankah kita tidak boleh mengingat sejarah sebelum tahun-tahun 1960an?
Bahkan cara-cara kita mengingat-ingat pun kita batasi pada apa yang kita definsikan sebagai pahlawan-pahlawan. Seakan mereka adalah manusia-manusia tanpa cacat dan tidak korup.
Walaupun, seperti kata Ralph Waldo Emerson, “Every hero becomes a bore at last” … Setiap pahlawan akhirnya menjadi membosankan. Persis pada titik ini, semua ingatan dan narasi tentang massa dan rakyat, itu hilang. Terkubur, Musnah dan dimusnahkan.