Wahai Pemuja Ilusi Maskulinitas, Apalah Artinya Penis kalau Isi Kepala Rapuh? - Utustoria Wahai Pemuja Ilusi Maskulinitas, Apalah Artinya Penis kalau Isi Kepala Rapuh? - Utustoria

Wahai Pemuja Ilusi Maskulinitas, Apalah Artinya Penis kalau Isi Kepala Rapuh?

809
Spread the love

Photo: Ilustrasi, Google Red

Penulis: Abdurrachman Sofyan

“Kamu laki-laki bukan sih?” Ucapan yang bermaksud mengolok-olok itu sering kali ditujukan kepada lelaki yang condong dan berpihak pada perjuangan perempuan. Bahkan, ada yang sampai dijauhi dari sirkel pergaulan laki-laki.
Saya sendiri masih ingat kejadian waktu SD dulu, bagaimana kawan laki-laki yang sebangku dengan saya mesti pasrah diolok-olok, karena ia lebih sering bergaul dengan anak-anak perempuan. Ia juga sering berada di garda depan kelompok anak perempuan saat gerombolan anak laki-laki datang menggoda.
Yaaa, namanya juga anak-anak. Masih bau kencur! Eitss… Nggak gitu juga, keleus.

Pendidikan tentang gender nggak cuma untuk dilahap anak di usia baligh. Setidaknya pengetahuan tentang anti-diskriminasi dan hate speech bisa dimulai sejak dini.
Tapi, jangan heran juga, ketika ada orang dewasa dan bahkan sudah hampir tutup usia yang belum bisa menghilangkan cara pandang patriarkis semacam itu.
Nah, begitulah cara kebodohan memperbudak manusia. Di balik bayang-bayang ilusi maskulinitas atau kejantanan, seolah-olah keadilan dan kesetaraan bisa dimonopoli. Seakan-akan keduanya mengenal jenis kelamin. Padahal, keadilan dan kesetaraan nggak punya kelamin.

Jadi, wahai para pemuja ilusi maskulinitas, apalah artinya penis kalau isi kepala rapuh? Di manakah letak kepala yang sesungguhnya, di atas atau di bawah?
Fenomena itu mungkin berhubungan dengan pertanyaan mengapa jumlah laki-laki cenderung sedikit saat berbicara isu-isu kesetaraan gender. Saya pun sering kali menemui kajian-kajian ilmiah soal itu yang mayoritas pesertanya adalah perempuan.
Padahal, isu kesetaraan gender, feminisme atau lainnya, bukan cuma soal masa depan perempuan, melainkan masa depan bersama, termasuk laki-laki. Masa depan yang baik untuk semua. Sebab itu, laki-laki juga harus terlibat dalam hal kajian maupun gerakan.

Masa bisanya cuma ngopi-ngopi?
Begitu juga dengan isu-isu lainnya. Semisal, isu konflik agraria, konflik penggusuran, dan segala jenis kasus yang berkaitan dengan besarnya potensi tindakan represif aparat. Apakah itu hanya urusan laki-laki, sementara perempuan juga cuma ngopi-ngopi?
Balik lagi soal ilusi maskulinitas.
Pada suatu waktu, seorang rekan pernah mengaku gusar karena beberapa temannya terus-terusan menyindir tentang keberpihakannya pada perjuangan perempuan. Lalu, sambil menikmati senja kopi, saya balik bertanya;

“Memangnya kenapa kalau laki-laki ikut memperjuangkan hak-hak perempuan?”

“Bukankah kita harus mendorong masyarakat berdaya pulih bersama?”

“Bukankah kita perlu membangun koperasi bersama?”

“Kalau berbaris bersama di Women’s March sambil menuntut negara dan korporasi tentang kesetaraan upah, hak cuti menstruasi, dan cuti melahirkan yang lebih panjang, boleh kan?”

Jika teman sepermainan mencemooh pilihan dan keberpihakanmu lantaran masalah jenis kelamin, sesungguhnya dialah yang bermasalah. Dialah yang mengolok-olok dirinya sendiri. Apa iya, maskulinitas itu berarti tidak melakukan apa-apa? Apakah cuma bisa ngebacotin orang doang? Di mana letak kejantanannya?
Jadi begini, wahai para pemuja ilusi maskulinitas.
Pertama, kamu perlu memahami bahwa ini bukan soal isu laki-laki atau perempuan, melainkan isu bersama. Karena itu, laki-laki yang memiliki preferensi pada isu perempuan, nggak otomatis kehilangan satu unsur kelelakiannya.

Kedua, sejak narasi perjuangan perempuan berhasil mewarnai opini publik beserta masifnya publikasi soal kasus-kasus kekerasan dan diskriminasi, suka atau tidak suka itu pukulan telak bagi lelaki misoginis. Alhasil, kamu-kamu yang misoginis merasa terusik. Makanya, berhenti menjadi lelaki misoginis kalau nggak mau terusik.
Bukan kodrat laki-laki mesti memihak sesama laki-laki. Begitu juga dengan preferensi. Ini bukan persoalan sepele atau sesuatu yang wajar. Kalau kamu masih berpikir bahwa laki-laki ibarat pusat tata surya, duh… menyedihkan sekali.
Cukup sudah, geliat superioritas dan watak patriotistik yang didengungkan hanya milik laki-laki. Itu watak ‘laki-laki lama’, bapakisme.
Bagi ‘laki-laki baru’ yang progresif, setelah dihujam dengan hujatan Social Justice Warrior alias SJW, bersiaplah mendapat ‘gelar baru’ dari sesama lelaki. Tapi, nggak masalah sih. Lha, daripada mengejar ilusi?
Sebetulnya mengejar ilusi maskulinitas itu merugikan laki-laki lho. Bagaimana tidak, ngeluh sedikit dibilang “Lelaki manjha”. Sekalinya walk out dari forum adu bacot dibilang “Lelaki kok ngambekkan”. Bahkan, ketika menangis, dibilang “laki-laki kok cengeng”.

Lha, memangnya kenapa kalau laki-laki manja, ngambek, dan menangis? Bukankah itu sesuatu yang alamiah? Capek nggak sih jadi lelaki yang cuma mengejar ilusi maskulinitas?
Tapi, itu cuma remah-remah saja kalau dibandingkan beratnya beban ganda, peminggiran, serta pelemahan terhadap perempuan. Sementara segenap perempuan bersatu mencoba bangkit melawan, mengapa tidak banyak laki-laki yang ikut mendukung?
Memang sih, mengolok-olok lelaki yang berpihak pada perjuangan perempuan sedikit banyak mempengaruhi aktivismenya. Apalagi, kalau ditambah dengan label SJW.
Tapi, percayalah, laki-laki dan perempuan adalah manusia yang berpotensi mengalami pelemahan dan ketertindasan. Bukan hanya para petani yang tanahnya dirampas yang perlu dibela, perempuan yang harkatnya dihancurkan juga perlu dibela. Lagipula, menganggap isu perempuan lebih rendah dari isu lain adalah bentuk alienasi.
Jadi, kapan kamu berhenti nyinyirin ‘laki-laki baru’? Kuno ah…

Tulisan Ini Pertama Kali Terbit di Voxpop.id