Kerja Keras Bagai Kuda, Mustahil Kelas Pekerja Bisa Banyak Bercinta - Utustoria Kerja Keras Bagai Kuda, Mustahil Kelas Pekerja Bisa Banyak Bercinta - Utustoria

Kerja Keras Bagai Kuda, Mustahil Kelas Pekerja Bisa Banyak Bercinta

1024
Spread the love

Photo: Ilustrasi Bercinta, Merdeka.com

Penulis: Rulfhi Pratama

“Kerja keras bagai kuda dicambuk dan didera. Semua tak kurasakan untuk mencari uang.” (Koes Plus).

Sepenggal lirik dari grup musik legendaris Indonesia itu masih relevan hingga kiwari. Meski sudah jarang diputar karena Generasi Y-Z lebih mengakrabi lagu Peradaban karya Feast hingga Bitterlove dari Ardhito Pramono, tapi saya yakin mereka mengalami apa yang disebut ‘kerja keras bagai kuda’.

Sebetulnya tak ada yang salah dari kerja keras. Karena kesuksesan memang buah dari kerja keras. Namun, dalam kondisi saat ini, ternyata kerja keras saja tidak cukup. Banyak faktor yang mempengaruhi, entah perusahaan, rekan kerja, gaya hidup, sampai hal-hal yang dianggap sebagai privilese.
Yup, kita tahu bahwa mencari pekerjaan dan uang itu memang susah. Terlebih, untuk mereka yang bekerja di bidang informal. Segala risiko ditanggung sendiri. Tetapi jangan salah, bekerja di bidang formal pun tak luput dari kesusahan.

Berbicara kelas pekerja, mereka sangat rentan terjebak dalam situasi rat race cycle. Situasi dimana mereka terjebak dalam kondisi tanpa pernah mencapai tujuan. Dalam hal ini, bebas secara finansial (financial freedom).
Istilah rat race cycle pertama kali dikemukakan oleh seorang penasihat keuangan Amerika bernama Robert Kiyosaki. Ia menggambarkan seseorang yang terjebak dalam roda (seperti hamster). Orang tersebut sama sekali tidak mencapai titik tujuan, tetapi harus terus berlari tanpa henti.

Sama halnya dengan kelas pekerja, mereka harus terus kerja, kerja, dan kerja. Alih-alih mendapatkan gaji yang layak, mereka malah diberi tambahan jam kerja. Gaji pun semakin menipis hingga jatah makan pun harus terkikis.
Kalaupun mereka mendapatkan gaji yang layak, bisa jadi mereka tengah mendapatkan privilese. Tentu tak semua orang bisa begitu, terlebih di negara ber-flower seperti kita, dimana kesejahteraan pekerja masih dipandang sebelah mata. Sebab keuntungan perusahaan yang lebih utama.

Saya masih ingat celoteh getir seorang kawan kala hari gajian tiba. “Horee gajian, bisa makan enak nih.” Belum seminggu berlalu, ia sudah mengeluh bahwa gaji bulan ini hanya numpang lewat. Bulan selanjutnya begitu lagi, lagi dan lagi.
Gajinya habis seketika berkat segala rupa yang berbau cicilan, seperti cicilan kendaraan, rumah, hingga rutinitas membeli minuman yang ada bobanya. Kita boleh saja berasumsi bahwa dia memiliki gaya hidup konsumtif atau bisa jadi gajinya yang terlampau kecil atau belum dapat disebut layak.

Hal itu memang akan banyak menimbulkan perdebatan. Sebab, urusan penggunaan gaji memang menjadi hak privat seseorang. Akan tetapi, bolehlah kita sedikit bersepakat bahwa gaji yang layak adalah, ketika seseorang tak lagi memikirkan harus makan apa dan bisa beli barang yang diinginkan.

Kembali soal rat race cycle. Para ahli keuangan di Amerika, Robert Kiyosaki dan Robert G. Allen sepakat bahwa jalan keluarnya adalah memiliki pemasukan lebih dari satu sumber. Yah, solusi yang mudah diucapkan, tapi tak mudah dilaksanakan.
Kadang-kadang, buruknya manajemen perusahaan membuat karyawan sulit untuk menggarap side project sebagai pemasukan tambahan. Apalagi, bila perusahaan melarang karyawannya memiliki pekerjaan lain. Padahal, gaji yang didapatkan tergolong besar pun belum.

Di beberapa sektor pekerja seperti agensi, karyawan sering mendapatkan pekerjaan dadakan/revisi mepet yang harus diselesaikan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Padahal, saat itu di luar jam kerja. Lantas, bagaimana mungkin mereka mau mencari pemasukan lain, jika di luar jam kerja saja masih diganggu pekerjaan utama?

Di Indonesia, kelas pekerja kini malah tambah was-was. Isi draf Omnibus Law bikin galau. Omnibus Law akan menjadi aturan baru yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang. Katanya, UU ini akan menghapus pasal-pasal yang tumpang tindih dari UU yang selama ini berlaku.
Ada 1.244 pasal dari 79 UU direvisi sekaligus. UU tersebut direvisi lantaran dianggap menghambat investasi. Itu artinya, Omnibus Law dibuat untuk memudahkan tuan-tuan pemilik modal guna menanamkan uangnya di negeri gemah ripah loh jinawi ini.

Beberapa hal yang menjadi kontroversi terkait Omnibus Law saat ini, yaitu RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) RUU Cipta Kerja (Cika) dan RUU Perpajakan. RUU Cilaka Cika sangat mencelakakan kelas pekerja. Ada beberapa aturan yang sangat pro perusahaan dan pemilik modal terkait masuk kerja enam hari, ketentuan lembur, upah minimum, pesangon, bonus tahunan, dan lain-lain.
Jika Omnibus Law disahkan sebagai UU tanpa adanya perubahan, kelas pekerja bakal kerja ‘lebih keras’ lagi. Waktunya hanya habis di kantor atau pabrik daripada di rumah yang masih dicicil itu. Pokoknya kerja, kerja, kerja. Titik.
Terus, gimana bisa ‘kurangi jam kerja, perbanyak bercinta’??

Tulisan ini sudah pernah dimuat oleh Voxpop.id