Photo: Ilustrasi, Google Red
Penulis: Margaretha Diana
Heran deh dengan komentar-komentar di artikel yang membahas angka perceraian selama pandemi. Kenapa sih berita semacam itu pasti dibanjiri oleh komentar para lelaki? Komentarnya bau-bau mesum pula, nggak ada yang bau melati apa? Biarin deh serem dikit.
Komentar-komentar butuh digaruk pakai sikat kawat itu berhamburan terutama di artikel yang melaporkan peningkatan jumlah janda di Jawa Barat selama pandemi Covid-19. Ini media juga misoginis banget sih. Kalau ada janda, berarti ada duda. Kenapa judul dan isinya melulu hanya janda?
Judulnya pun provokatif gitu seperti “Ada 12.291 Janda Muda Baru di daerah X” atau “Gara-gara Pandemi, Janda di daerah X Bertambah 1.540”. Iya tahu nyari klik, tapi tetap jangan sampai mengabaikan sisi kemanusiaan, dong.
Dalam pernikahan di Indonesia, karena belum mengakui pernikahan untuk queer, berarti melibatkan laki-laki dan perempuan. Jadi kalau ngomong perceraian, pastinya bicara janda dan duda. Tapi nyatanya, janda kerap diposisikan sebagai objek mesum yang seolah-olah mesti disorot tajam.
Terlebih, banyak komentar dari laki-laki yang cenderung melecehkan janda. Semisal, “Wah asyik nih, banyak yang bisa digoda”, “Duh, pasti pada kesepian nih, besok abang datang ya sayang”, “Bohay-bohay nggak nih, boleh nih”.
Padahal, janda juga manusia yang kedudukannya setara dengan manusia lain. Perannya adalah subjek, bukan objek – apalagi objek pelecehan seksual verbal semacam itu.
Sama halnya dengan istilah preloved partner yang sempat dilontarkan oleh seorang influencer tempo hari. Dia bilang seharusnya istilah janda dan duda diganti dengan preloved partner saja. Bagi saya, itu juga nggak kalah ngawur sih. Sebab sama saja menempatkan janda sebagai objek belaka.
Menurut Oxford Dictionary, preloved berarti previously owned, secondhand. Sementara, KBBI mendefinisikan itu sebagai sesuatu yang tidak baru, pernah dipakai, atau bekas. Meskipun kata tersebut merujuk pada bentuk kata sifat, tapi dalam keseharian, kata tersebut lebih banyak dipakai untuk mendefinisikan benda layak pakai.
Dengan demikian, meski pakai tambahan embel-embel “partner” di belakang kata “preloved”, ya tetap saja menganggap janda sebagai objek. Jelas, ini semakin mendegradasi status sosial janda.
Selama ini, sudah begitu banyak stigma negatif terhadap janda dalam masyarakat kita. Kita lihat bagaimana Bunga Citra Lestari alias BCL menjadi bulan-bulanan media setelah suaminya, Ashraf Sinclair, meninggal dunia. Tak hanya menjadi bahan candaan ngawur di media sosial, bahkan ada media daring yang langsung membahas masa iddah BCL. Dikira barang yang siap dilelang setelah masa iddah selesai, apa?
Bayangkan, seorang perempuan mandiri yang merdeka atas dirinya sendiri seperti BCL, yang memiliki support finansial sangat stabil, tetap dianggap lemah. Seakan ia tak punya nilai tawar sebagai seorang perempuan.
Lantas, bagaimana dengan para janda yang tak punya support finansial alias penghasilan sendiri? Sementara, di negeri ini, problem utama sebagian besar perempuan yang lepas dari pernikahannya adalah perkara support finansial.
Kita tahu, banyak perempuan menikah yang tidak bekerja atau yang keluar dari pekerjaannya. Entah disuruh suami, dipaksa keluarga (orangtua dan mertua), ataupun kesepakatan bersama. Mereka terbiasa mendapatkan support finansial dari pasangannya. Ketika bercerai, posisinya sangat rawan. Apalagi, anak-anak ikut bersamanya.
Memang sih, pengadilan memutuskan bahwa si bapak harus tetap membiayai kehidupan anaknya, walaupun tak lagi tinggal bersama. Tapi, praktiknya, banyak janda yang harus menghidupi anak-anaknya. Terlebih, di kemudian hari si bapak menikah lagi, perkara kewajiban ini semakin dipandang sebagai perjanjian di atas kertas belaka.
Dan, karena faktor ekonomi ini pula, janda dianggap tak punya nilai tawar lain selain tubuh dan seksualitas, lalu memunculkan stigma negatif di masyarakat bahwasanya janda adalah perempuan ‘gampangan’.
Tak hanya di mata lelaki, para janda juga kerap dipandang negatif oleh sesama perempuan. Para perempuan bersuami bakal sibuk kasak-kusuk kalau ada janda yang tinggal di lingkungan mereka. Curiga dengan siapa ia bertegur sapa, siapa saja yang bertamu ke rumahnya, apalagi janda tersebut masih muda dan orang yang bertegur sapa atau bertamu itu adalah lelaki.
Masih ingat akting Elvy Sukaesih sebagai janda bertubuh bahenol bernama Halimah yang bekerja menjadi ART di rumah kos dalam film Warkop DKI? Pada akhirnya Halimah hamil, dihamili oleh bosnya yang nggak tahan melihat keseksian tubuh Halimah.
Lalu, ada film Inem Pelayan Sexy karya sutradara Nya’ Abbas Akub dan dibintangi oleh Doris Callebaute, yang juga memerankan seorang janda seksi yang bekerja sebagai ART di rumah keluarga kaya. Pada akhirnya bernasib sama dengan Halimah, terlibat hubungan asmara dengan bosnya yang jatuh cinta karena keseksian tubuh dan kecantikan si ART.
Belakangan, film tersebut dibuat sinetronnya dengan pemain Sarah Vi sebagai Inem. Tapi yang ‘dijual’ tetaplah sama, yakni imaji tentang janda cantik, seksi, dan menggoda. Dimana kesan itu turut melanggengkan stigma negatif terhadap janda.
Padahal, banyak juga perempuan cerdas yang akhirnya memilih untuk menjadi janda ketimbang mempertahankan pernikahannya yang toksik. Tak sedikit, mereka adalah perempuan-perempuan yang punya landasan ekonomi kuat. Tapi ya gitu deh, tetap saja yang namanya janda bakal panen stigma negatif di masyarakat kita.
Pada akhirnya, masyarakat memang cenderung tidak adil saat memperlakukan janda dan duda. Bahkan, saat mereka berusaha move on dari luka lama, ngedate dan dekat dengan orang lain. Masyarakat akan menilai wajar jika duda mendekati perempuan lain, semisal yang lebih muda. Tapi kalau janda yang melakukan itu, kebayang kan?
Menjadi seorang janda di negeri ini seakan nggak boleh punya pilihan apapun, kecuali mengurus anak dan kelihatan kumel. Karena kalau dandan sedikit, pasti dianggap kegenitan. Dicurigai ingin mencari mangsa. Lah, memangnya macan mencari mangsa? Aaauuummmm…
Tulisan ini sebelumnya telah terbit di: Voxpop.id