
Photo: Ilustrasi, Google Red
Penulis: Rezky Aspar
Kasus kematian George Floyd karena tindakan represif polisi telah menyulut sederet aksi solidaritas di seluruh dunia, aksi terparah terjadi di AS sebagai negara tempat kejadian bermula. Lantas memicu aksi serupa di benua eropa, di Amerika para demonstran membakar mobil polisi, memblokir lalu lintas, dan yang paling banyak diberitakan adalah tindakan penjarahan toko – toko di kompleks – kompleks perbelanjaan oleh demonstran.
Slogan #BlackLivesMatter diteriakan sepanjang aksi. Menandakan bahwa ini adalah perjuangan kelas tertentu. Di Amerika Black Lives Matter (BLM) sebagai sebuah gerakan perjuangan kulit hitam telah melalui perjalanan panjang hingga sampai ke titik ini, berawal dari pidato Martin Luther King Jr tanggal 28 Agustus 1963 yang menekankan pada keadilan sosial, penyetaraan hak yang kemudian dikenal sebagai Civil Right Movement. Diskriminasi sosial, dan perjuangan kelas paling bawah dalam susunan hirarki sosial yang menjadi alasan perjuangan BLM. Upaya kaum kulit hitam melepaskan diri dari bayang – bayang perbudakan penuh dengan jalan terjal. Tindakan ketidakadilan masih terus di alami, dalam kehidupan sosial, pemberian hak istimewa menempatkan kaum kulit hitam dalam daftar paling bawah. Di Amerika kampanye kesetaraan selama ini terus digambarkan lewat berbagai macam produk kebudayaan, akan tetapi tindakan diskriminasi tidak juga memudar, jarak kemapanan finansial tidak berubah, dikutip dari CNBC (22/6/2020) tingkat penggangguran untuk kaum kulit hitam mencapai dua kali lipat dari kaum kulit putih atau sekitar 35% pria kulit hitam diusia produktif, hal ini memicu tindak kriminal oleh orang kulit hitam. Disparitas, politik identitas dan kesenjangan itulah yang membuat orang kulit hitam menjadi indikator kemiskinan di negara adidaya tersebut.
Balasan All Lives Matter
Setelah aksi protes berhari – hari slogan Black Lives Matter mendapatkan respon serupa yakni All Lives Matter (semua kehidupan itu penting) beberapa pakar memandang pendukung All Lives Matter (ALM) dinilai mispersepsi terhadap masalah yang terjadi selama ini. Bahwa benar kehidupan setiap orang dari berbagai latar belakang asal usul itu penting, akan tetapi BLM lebih berfokus pada perjuangan kelas yang selama ini dianggap tak memenuhi standar dalam menempati kelas sosial yang di anggap normal. Belakangan diketahui bahwa BLM juga tak hanya memperjuangkan kesetaraan bagi kaum kulit hitam, hal ini didasari oleh para demonstran yang berasal dari berbagai macam ras yang mendiami Amerika. Ikut bergabung dalam berbagai gelombang protes, disinilah konflik ideologi berlangsung, terjadi dikotomi pada masyarakat menjadi dua kelompok ideologi baru, yakni pro BLM dan kontra menempatkan pola pikirnya sesuai dengan cara pandang ALM. Gerakan solidaritas dari kedua kelompok kian meluas tak bisa dihindari. Masing-masing merangkul individu dari ideologi yang sama. Kedua gerakan ini tak memerlukan proses keanggotaan karena pada dasarnya ini adalah kelompok informal yang hanya bermodalkan semangat dan interaksi yang cukup mempengaruhi mereka yang seideologi.
Black Lives Matter dan All Lives Matter keduanya adalah wacana yang memiliki kepentingan sekaligus membentuk tata perilaku masyarakat. Berperan besar dalam membentuk pola pikir antara hubungan sosial dari berbagai kelas.
Dominasi Wacana
Sebuah wacana juga mampu memicu terjadinya konflik yang efektif terhadap kelompok – kelompok masyarakat, wacana yang hadir pun bisa mendominasi dan mempengaruhi pola interprestasi banyak orang, berikut menjadi standar ideologi berdasarkan realita sosial yang dialami oleh kelompok masyarakat tertentu, dan kemudian menjadi gelombang kesadaran baru. Masyarakat diluar ruang lingkup tersebut dihadapkan pada dua pilihan, menerima atau menolak. Gramsci (2018) menyimpulkan jika ideologi dari satu kelompok di terima sebagai suatu yang umum (common sense) maka kelompok tersebut akan dengan mudah melakukan hegemoni melalui tokoh – tokoh intelektualnya. Kelompok yang menolak akan tampil sebagai antitesis dari kelompok yang menyuarakan ideologi berseberangan dengan mereka, sebagai pendukung akan sikap resisten mereka dan mencegah hegemoni dari kelompok lawan terjadi.
Jika nanti perjuangan kedua kelompok BLM dan ALM usai, dan salah satunya memenangkan wacana dan mendominasi cara pandang masyarakat. Gramsci (2018) juga menekankan bahwa, pada akhirnya masyarakat akan dihadapkan pada konsep realitas, yakni kebenaran, kesalahan, hal yang baik dan yang buruk, terterima atau tertolak, dan bisa di pastikan masyarakat yang di dominasi itu menerima tentang kebenaran suatu konsep wacana dari kelompok dominan. Dengan demikian, tampak pentingnya peran media dalam menyampaikan informasi untuk tidak mengaburkan fakta siapa yang sebenarnya mengalami diskriminasi dalam kasus ini. Dengan mengesampingkan muatan-muatan elitis, dan menjalankan mekanisme kontrol guna mencegah mispersepsi yang nantinya tercipta.
Hal ini berarti bahwa kehidupan orang kulit hitam, yang dipandang tidak memiliki nilai dalam supremasi kulit putih, adalah teramat sangat penting bagi kebebasan. Mengingat dampak kekerasan negara yang tidak proporsional terhadap kehidupan orang kulit hitam, dapat dipahami bahwa ketika orang kulit hitam mendapatkan kebebasan, manfaatnya akan luas dan efektif bagi masyarakat secara keseluruhan. Ketika kriminalisasi, kemiskinan, dan pengawasan yang ketat orang kulit hitam dapat diakhiri, maka setiap orang di dunia ini memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mendapatkan kebebasan.