Photo: Ilustrasi Google
Penulis: Rezky Aspar
Wabah covid-19 telah merubah segala sendi kehidupan dunia, berbagai macam unsur kehidupan lumpuh, mulai dari keamanan hingga unsur mata pencaharian dipastikan tak banyak beroperasi, hanya sebagian kecil yang beroperasi. Di seluruh dunia 3 jutaan orang terinfeksi, dan mencapai 12 ribu orang di negara indonesia patut di syukuri bahwa angka penyebaran yang besar tersebut tidak di ikuti dengan angka kematian yang tinggi, hanya sekitar 7% dari total infected. Berdasarkan data dari www.worldometers.info Indonesia yang menjadi salah satu negara terdampak, melalui pemerintah telah mengeluarkan berbagai macam kebijakan yang dianggap mampu memutus mata rantai penyebaran covid-19, dari pembatasan sosial berskala besar, work from home, study from home, dan berbagai kebijakan kecil sebagai pendukung dari kebijakan tersebut.
Terkhusus di dunia pendidikan, yang menjadi salah satu bidang yang terdampak oleh covid-19 pun mulai menerapkan study from home, sebagai salah satu langkah preventik sekaligus proteksi terhadap seluruh elemen pendidikan di indonesia. Dengan kebijakan ini para siswa di arahkan untuk belajar secara mandiri dari rumah masing-masing dengan memanfaatkan teknologi aplikasi, dan guru sebagai tenaga pendidik memberikan materi dan tugas secara online dan sekali – kali melakukan tatap muka melalui perangakat telekomunikasi. Hal ini pada awalnya dianggap lebih fleksibel dalam pengaturan waktu, sekaligus meningkatkan produktivitas akan tetapi ada beberapa masalah yang lantas berkembang dari diterapkannya study from home ini. Masalah – masalah ini berupa kondisi mental peserta didik.,mood peserta didik mengalami perubahan ketika dalam menjalani SFH. Pada awalanya belajar dari rumah terasa santai hingga sampai pada suatu titik dimana siswa merasa kebinggungan , dan merasa harus segera melakukan kontak dengan guru sesering mungkin guru yang tidak siap.
Seperti dilansir dari theconversation.com, Whisnu Triwibowo, dosen Ilmu Komunikasi Fisip UI mengemukakan bahwa, pembelajaran jarak jauh kian memperlebar jarak antar kelas sosial. Alasannya adalah peserta didik yang berasal dari kalangan menengah kebawah sangat mungkin tidak memiliki perangkat digital serta sambungan internet, mengalami keterbatasan akses dalam jaringan. Walaupun teknisnya mereka berasal dari generasi yang melek teknologi keterampilan digital mereka akan lebih rendah dibandingkan siswa dengan latar belakang ekonomi yang kokoh.
Peserta didik dengan ketahanan finansial lebih, akan bisa bereksplorasi dengan internet dan berbagai macam aplikasinya sudah terbiasa dan bisa cepat beradaptasi. (Biasanya mereka ini siswa sekolah eksklusif) Sedangkan siswa yang memiliki keterbatasan ekonomi lambat laun akan terbenam dan tertinggal.
Hal ini mempertegas bahwa kita berada di negara berkembang di belahan dunia ketiga. Kedua kelas sosial tersebut terlihat seperti berada pada dua dimensi yang berbeda. Begitulah, ketimpangan kualitas pendidikan antarkelompok sosial-ekonomi dan membuat kelompok marginal makin terpinggirkan.
Dari berbagai respon yang ditunjukan dari fenomena tersebut, nampak adanya permasalahan – permasalahan baru yang harus dihadapi dan dibenahi sesegera mungkin, pemerintah pasti akan segera membenahi masalah tersebut dari segi fasilitas dan infrastruktur, tapi solusi terbaik mengacu pada kegiatan belajar mengajar dengan atmosfir yang lebih humanis, ramah terhadap pengajar dan siswa dalam hal ini harus mendapatkan perhatian lebih.