Lelaki yang Senang Menghirup Aroma Kematian - Utustoria Lelaki yang Senang Menghirup Aroma Kematian - Utustoria

Lelaki yang Senang Menghirup Aroma Kematian

641
Spread the love

Photo: Ilustrasi

Penulis: Hermawan Aksan

Kain Kafan

Lelaki baya itu tertatih di antara lalu lalang orang-orang di pasar desa. Kepalanya celingukan ke kanan-kiri dan matanya yang buram mencari-cari. Langkahnya terhenti di depan sebuah kios kain dan dia menanyakan apakah ada mori.

“Buat apa beli kain mori, Ki?”

Lelaki tua itu—orang-orang memang memanggilnya aki—mengerutkan dahi, menatap perempuan paruh baya penjual kain, menambah banyak jumlah kerutan di keningnya. “Buat apa lagi? Tentu saja buat kain kafan.”

Perempuan itu menarik lipatan kain mori dari sebuah tumpukan. “Innalillahi. Siapa yang meninggal?”

“Tak ada yang meninggal.”

“Jadi buat apa?”

“Kan sudah kubilang buat kain kafan, kain pembungkus jenazah.”

“Jenazah siapa? Dari pagi saya, kok, belum mendengar pengumuman orang meninggal.”

“Jenazahku.”

“Ih, Aki, jangan bilang begitu, ah. Bikin merinding saja.”

“Bukankah kita semua akan mati? Mumpung masih hidup, aku ingin beli sendiri, dengan uang sendiri. Kalau sudah mati, nanti merepotkan orang karena aku tak akan bisa beli sendiri,” sang kakek terkekeh sendiri oleh kata-katanya.

Ia pulang dengan menyunggingkan senyum di bibirnya yang hitam dan keriput.

Tak banyak orang di desanya yang tahu bahwa ia seorang penyair—orang-orang justru lebih mengenalnya sebagai tukang kayu. Konon, penyair dan dukun itu punya satu kesamaan: tidak dikenal di kampungnya sendiri. Usianya sudah mendekati angka delapan puluh dan kemampuannya menulis puisi sudah jauh menurun, terutama dibandingkan dengan sekitar empat puluh tahun lalu. Dulu ia termasuk penyair terkenal meski bukan penyair papan atas yang setara dengan para penyair seusianya seperti Taufiq Ismail atau W.S. Rendra. Mungkin karena ia tetap memilih tinggal di desa dan tidak selalu mengikuti hiruk-pikuk jagat sastra—meski desa itu bertetangga dengan kota kecamatan dan hanya belasan kilometer dari kota kabupaten.

Ia juga menulis cerita pendek. Total mungkin ada belasan cerpen selama hidupnya. Jadi, kalau dirata-rata, tiga atau empat tahun sekali barulah ia membuat satu cerpen. Ada yang dimuat koran dan majalah terkenal. Sebagian dimuat koran lokal. Esainya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan cerpennya.

Dulu sekali, ia beberapa kali diundang ke kegiatan sastra di sejumlah daerah, untuk menjadi pembicara, membaca puisi, atau sekadar hadir. Dari situlah ia kenal dengan banyak penyair dan seniman serta dapat membukukan puisi-puisinya dalam tiga atau empat kumpulan puisi yang tipis. Salah satu di antaranya diterbitkan oleh penerbit Ibu Kota dan diberi pengantar oleh H.B. Jassin.

Ia masih tetap menulis puisi meskipun sudah jauh menurun dan lebih banyak ditumpuk di rak bukunya. Meski demikian, seperti umumnya penulis, ia belum pikun dan pendengarannya belum banyak berkurang. Satu hal yang masih selalu memicunya menulis puisi, ia masih ingin menulis semacam masterpiece, mahakarya, yang akan dapat dikenang generasi sekarang. Katakanlah seperti “Aku” yang melekat dengan nama Chairil Anwar, “Balada Orang-Orang Tercinta” dengan W.S. Rendra, “Malam Lebaran” dengan Sitor Situmorang, atau “Hujan Bulan Juni” dengan Sapardi Djoko Damono.

Seperti umumnya penyair, terutama yang mengandalkan hidup sepenuhnya pada puisi, tanpa pekerjaan lain semacam dosen atau pemimpin redaksi, dia juga miskin, bahkan di antara para penyair. Masih beruntung dia beristrikan seorang guru bahasa Indonesia—wanita yang dulu mengagumi puisinya dan jatuh cinta juga karena puisi. Belakangan ia disokong uang pensiunan mendiang istrinya dan kadang kiriman dari anak semata wayangnya di kota.

Peti Mati

Dia simpan kain mori itu di atas peti kayu di kamar belakang rumahnya. Peti itu belum selesai sepenuhnya. Ia ingin memahat permukaan atasnya dengan salah satu puisinya. Setelah itu barulah ia akan mengecatnya dengan warna cokelat tua.

Itulah calon peti matinya.

Profesi sampingannya selain penyair memang tukang kayu. Sebagaimana ia belajar sendiri menulis puisi, ia menjadi tukang kayu tanpa belajar kepada siapa pun. Dulu ia merancang dan membangun sendiri rumahnya, dibantu dua atau tiga orang secara tidak tetap, tergantung apakah ia sedang punya uang atau tidak. Ia membuat sendiri pintu, jendela, usuk, reng, dan perabot rumah tangganya. Ia menerima pekerjaan orang lain tergantung suasana hati. Kalau ada orang yang memesan dibuatkan lemari, sedangkan ia sedang dibanjiri ide menulis puisi, ia akan menolak pesanan itu dengan alasan sedang sibuk dengan pekerjaan lain.

Sebagai penyair sekaligus tukang kayu, ia memiliki peralatan lengkap: mesin tik tua, bolpoin, pensil, gergaji, meteran, siku, palu, pahat, dan sebagainya.

Akan halnya peti matinya, ia sesungguhnyalah paham benar bahwa masih banyak orang di desanya—sebagian besar di masyarakat negeri ini sebenarnya—yang melarang orang seagamanya dikuburkan menggunakan peti mati. Ia tidak akan memaksa orang-orang nanti menguburkan jenazahnya di dalam peti mati. Ia hanya ingin membuat peti mati untuk disimpan di kamarnya. Syukur-syukur bisa dipakai pula sebagai keranda yang akan membawanya ke liang lahat.

Ia hanya ingin selalu menghirup aroma kematian. Ia menghirup aroma kematian seperti menghirup taburan melati.

Dengan sering mengingat mati, kita akan makin dekat dengan sang pemberi kehidupan.

Ia membuat sendiri peti itu selama berbulan-bulan. Maksudnya, ia membuat peti mati itu tergantung suasana hatinya juga. Dan tergantung tenaganya. Sebagaimana kemampuan berpikirnya, tenaganya sudah jauh berkurang. Rutin seperti apa pun berolahraga dan berlatih pernapasan, orang seusia dia tidak akan mampu mempertahankan kebugaran seperti di masa mudanya. Jadi, omong kosong itu para kakek sakti di cerita-cerita silat.

Ukuran peti mati itu tentu saja disesuaikan dengan postur tubuhnya yang bertinggi badan 160 sentimeter dan berat badan 55 kg. Itu pun tinggi badan beberapa tahun lalu karena sudah menjadi hukum alam tinggi tubuh manusia akan berkurang setelah melewati usia 30-an, lalu berkurang banyak setelah usia 70-an. Jadi, panjang peti mati itu sekitar 180 cm, lebar 50 cm, dan tinggi 40 cm. Dengan ukuran itu, peti mati akan cukup jika dimasukkan ke lubang kubur dengan ukuran panjang dan lebar 2 meter dan satu meter.

Gambar Jenazah

Kamar tempat menyimpan peti mati itu memang kamar khusus. Salah satu dindingnya penuh dengan tempelan gambar jenazah, yang ia kumpulkan dari berbagai surat kabar dan majalah. Ada yang berwarna dan ada yang hitam putih.

Gambar-gambar itu kecil nyaris seperti prangko dan kebanyakan sengaja dibuat buram. Tapi ada juga yang lumayan jelas, khususnya jenazah orang-orang ternama, semisal Rendra. Ia menggunting surat kabar dan majalah yang mengabarkan korban bencana tanah longsor, korban kecelakaan lalu lintas, korban kejahatan, bahkan korban musibah Mina.

Ia pernah mengunjungi kota kecamatan dan melihat-lihat gambar-gambar yang dijual di trotoar. Ia menanyakan apakah ada gambar orang berbungkus kafan.

“Gambar jenazah, Kek? Buat apa?” si penjual memandang sang kakek dengan wajah terkejut dan takut, jangan-jangan kakek ini mayat yang hidup lagi. “Oh, ada, Kek,” si penjual tidak menunggu jawaban.

Si penjual mengambil selembar gambar dari tumpukan. “Ini,” katanya seraya menunjukkan sebuah gambar dengan fokus utama wajah hantu pocong.

“Ini, sih, gambar poster film,” kata sang penyair tua.

“Bukannya sama saja?”

Sang kakek menggerutu. “Film-film yang menyesatkan,” katanya, lebih kepada dirinya sendiri.

Meskipun demikian, dibelinya juga gambar itu dan ditempelkan di dinding kamarnya di antara gambar-gambar jenazah.

Jika sedang di rumah, ia senang berada di kamar ini, memandangi wajah kematian. Memandang wajah kematian baginya serasa memandang keindahan.

Lahan Kuburan

Ia masih punya sedikit tabungan berupa kalung emas peninggalan istrinya. Belum sempat juga ia pergi ke kota kecamatan untuk menjual emas itu. Uangnya nanti akan digunakan untuk membuking lahan di permakaman. Lahan di permakaman desa sudah makin sempit dan tidak ada lagi lahan gratis bagi warga yang meninggal.

Sebenarnya ia ingin membeli lahan di sebelah makam istrinya. Tapi lahan di kedua sisi makam istrinya itu sudah diisi orang lain. Ingin juga ia memesan tanah untuk dua orang. Lebih tepatnya, ia ingin minta kepada penggali kubur, nanti kalau ia mati, ia dikuburkan di lahan itu dan sekalian minta tolong memindahkan kerangka istrinya untuk dikuburkan lagi di sebelah kuburannya. Tentu saja ia yakin istrinya sudah tinggal kerangka. Istrinya, wanita terakhir yang ia cinta (ia pernah mencintai tiga atau empat wanita lain sebelum istrinya), sudah meninggal lebih dari lima tahun. Meninggal begitu saja waktu itu. Maksudnya, tidak sakit parah lebih dulu, seperti umumnya orang yang akan meninggal dunia.

Mestinya ia dulu, ketika istrinya meninggal, membuking lahan di sebelah istrinya. Tapi waktu itu ia belum memikirkannya.

Tapi biarlah. Kalaupun ia tidak dikuburkan bersebelahan dengan istrinya, ia yakin, sangat yakin, kalau kelak sama-sama ke surga, ia dan istrinya pastilah bertemu lagi. Dan ketika bertemu, mereka kembali sama-sama muda. Sama-sama berusia 20-an tahun, seperti ketika pertama kali mereka berjumpa.

Nisan

Sebelum memastikan memiliki lahan permakaman, ia ingin membuat sendiri nisan buat kuburannya. Semula ia ingin membeli nisan yang terbuat dari batu atau adukan semen dan akan meminta diukirkan beberapa baris puisinya, selain nama dan tanggal lahirnya tentu saja. Nisan batu atau semen tentu akan lebih tahan lama karena tidak akan mudah lekang oleh cuaca.

Namun ia merasa sayang melihat potongan-potongan kayu yang masih bergeletakan di halaman belakang rumahnya. Ada beberapa jenis kayu dan ia memilih kayu jati, yang dirasanya paling keras. Kayu jati itu ia yakini berusia lebih dari 30 tahun.

Mula-mula ditulisnya beberapa baris pendek puisinya dengan pensil, barulah nama dan tanggal lahirnya—sebuah tanggal lahir menurut keyakinannya, sebab ia, seperti sebagian besar orang tua di desanya, tidak memiliki akta kelahiran.

Ia selalu memusatkan perhatiannya jika sedang bekerja, sama seperti ketika menulis puisi. Tak ada suara lain kecuali ujung alat pahat yang sedang menggoresi permukaan kayu. Mata dan pikirannya terpusat hanya pada rangkaian huruf demi huruf dan angka demi angka.

Rasanya sudah lama ia tidak mengalami situasi seperti kesurupan yang dulu kerap ia alami ketika ia menulis. Situasi antara sadar dan tidak yang biasanya membuatnya dapat menghasilkan karya yang maksimal.

Meski kayu itu sangat keras, ia seakan-akan memiliki kekuatan yang lebih besar daripada biasanya. Ujung alat pahat di jemarinya tegar mengikuti garis-garis yang sudah dia buat. Ilham pun seperti terus mengalir ketika ia menggores-goreskan ujung alat pahat. Bahkan ketika huruf-huruf dan angka yang ia tuliskan dengan pensil sudah tak ada lagi, ia masih menggoreskan ujung alat pahatnya mengikuti semacam naluri yang tak disadari.

Tiap penulis tahu bahwa ilham atau kerangka tulisan hanyalah semacam garis besar, yang dapat diisi dengan ruh dan kata-kata apa saja, bahkan yang akan berbeda jauh dari gagasan semula. Itulah yang terjadi dengan sang penyair tua. Dalam keadaan nyaris tak sadar, ia terus memahat, sampai ia merasa sudah sampai ke ujung yang ia inginkan.

Pada titik itulah kesadarannya perlahan-lahan kembali.

Matanya memandang tak berkedip rangkaian huruf dan angka yang baru saja dipahatnya.

Dadanya berdegup, mula-mula perlahan, makin lama makin berdentam. Ia yakin baru saja menghasilkan sebuah mahakarya, setelah ia impikan sekian lama: hari dan tanggal kematiannya.

Hermawan Aksan

Lahir di Brebes. Menulis sejumlah cerpen, esai, dan novel. Tinggal di Bumiayu, Jawa Tengah.

Karya ini telah tayang sebelumnya di; https://basabasi.co/lelaki-yang-senang-menghirup-aroma-kematian/