Rivalitas HMI versus PMII : Perebutan Kursi Ketum PBNU di Muktamar NU Ke-34 - Utustoria Rivalitas HMI versus PMII : Perebutan Kursi Ketum PBNU di Muktamar NU Ke-34 - Utustoria

Rivalitas HMI versus PMII : Perebutan Kursi Ketum PBNU di Muktamar NU Ke-34

1534
Spread the love

Photo: Logo PMII dan HMI

Penulis: KH. Imam Jazuli, Lc.MA

Utustoria.com Bulan Desember 2021 mendatang, warga Nahdliyyin memiliki hajatan besar, yaitu Muktamar NU yang ke-34 di Lampung. Momentum ini bukan semata-mata momentem warga Nahdliyyin umumnya dalam mencari ketua umum yang betul-betul visioner ke depan. Lebih dari itu, muktamar akan menjadi hajatan kaum akademisi dan intelektual NU dari kalangan muda, antara lain kelompok mahasiswa. Para mahasiswa bersama PBNU akan menentukan langkah awal kebangsaan di masa depan.

Mahasiswa yang cukup populer dan memiliki sejarah perjuangan panjang antara lain Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Dua organisasi ini sekarang sedang memiliki jagoan masing-masing, antara lain Muhaimin Iskandar (PMII) versus Yahya Cholil Staquf (HMI).

Dengan begitu, Muktamar NU ke-34 di Lampung akan menjadi Medan Tempur para pendukung Cak Imin dan Gus Yahya; siapa yang akan keluar jadi pemenang, sulit diprediksi. Apakah politisi ulung sekaliber Cak Imin, atau intelektual yang moncer di kelas internasional Gus Yahya, yang kontroversial karena kunjungannya ke komunitas Yahudi Israel.

Hal penting yang patut digarisbawahi, satu-satunya anak ideologis NU di lingkungan mahasiswa adalah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Tidak ada organisasi mahasiswa yang sanad keilmuan, intelektualitas dan spiritualitas yang lahir dari NU selain PMII. Walaupun pada kenyataannya ada warga Nahdliyyin yang aktif di organisasi lain seperti di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan lainnya. Tetapi, secara ideologis, PMII lah yang mewarisi ideologi NU, bukan HMI dan lainnya.

Hubungan PMII dan NU sepenuhnya mirip, walau tak sama, dengan hubungan PKB dan NU. Satu-satunya partai politik yang lahir dari ideologi NU hanyalah PKB, walaupun pada kenyataannya ada warga Nahdliyyin yang aktif di parpol lain seperti PPP, Golkar, PDI-P, dan lainnya. Hubungan ideologis ini menjadi penting dibicarakan bukan semata-mata bersifat emosional, melainkan sepenuhnya persoalan social networking.

Di masa depan, tanggung jawab yang diemban Nahdliyyin/PBNU tidak ringan. Setidaknya ada dua ranah garapan yang berbeda; level domestik dan level global. Di tingkat domestik, Nahdliyyin diharapkan berkontribusi pada pemenuhan hajat nasional dan kebutuhan bangsa Indonesia sendiri. Di tingkat global, Nahdliyyin/PBNU dibutuhkan untuk turut berkiprah menata peradaban dunia yang kompleks dan multidimensional.

Keluarga Besar PMII dengan mendukung kader terbaik mereka menjadi Ketua Umum PBNU di masa depan akan lebih mudah mengakses jalur-jalur pengabdiannya, baik di tingkat domestik maupun global. Ada banyak sekali kader-kader terbaik PMII yang pantas duduk menjadi Ketum PBNU, selain Muhaimin Iskandar, ada juga yang lain seperti: Nusron Wahid, Ali Masykur Musa dan lainnya yang tidak bisa satu persatu disebut di sini.

Nama-nama figur besar publik di atas masuk ke dalam radar poling calon Ketua Umum PBNU. Ini artinya, banyak kader terbaik PMII dinilai menjadi harapan besar warga Nahdliyyin untuk menakhodai NU di masa depan. Dengan mendukung kader terbaiknya maju ke bursa Ketum, maka PMII tidak saja terhubung dengan PBNU secara ideologis melainkan juga secara jaringan sosial (social networking).

Jaringan sosial ini penting, karena ada sedikit pengalaman historis yang tidak perlu diulang-ulang lagi pada Muktamar mendatang. Misalnya, Bapak Menkopolhukam Mahfud MD sudah jelas-jelas pernah mendirikan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Wahid Hasyim di Universitas Islam Indonesia (UII) bersama Marwan Ja’far.

Ditambah lagi, menurut Mantan Khatib ‘Amm Syuriah PBNU KH. Malik Madani, kegitan dan kontribusi Mahfud MD kepda NU tidak terhitung oleh jari. Namun, pada kenyataannya, masih banyak orang yang meragukan ke-NU-an Mahfud. Hal itu karena Mahfud adalah kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) saat kuliah di UII, padahal hanya ada HMI kala itu (Tribunnews, 17/07/2018).

Pada Muktamar 2021 ini, perkara ideologis ke-NU-an tidak perlu dibahas lagi, supaya tidak melahirkan kerancuan tentang urusan kaderisasi. Sebab, sependek pengamatan penulis, ada dua tokoh besar yang potensial menjadi Ketum PBNU; Muhaimin Iskandar (PMII) versus Yahya Cholil Staquf (HMI). Dua tokoh ini, di satu sisi, adalah harta karun berharga bagi Nahdliyyin, karena peran besar mereka di domestik maupun internasional sangat terang benderang seperti matahari.

Sebagaimana kita tidak bisa menerima kepemimpinan Mahfud MD di PBNU karena kader HMI, juga berat rasanya untuk menerima Yahya Cholil Staquf sebagai kader HMI. Pilihan satu-satunya bagi mahasiswa PMII adalah Muhaimin Iskandar atau kader-kader terbaik PMII lain seperti Ali Masykur Musa, Nusron Wahid dll

Sekali lagi dan yang terakhir, representasi PMII di posisi Ketum PBNU sangat penting, karena NU di masa depan akan menjadi satu-satunya saluran paling efektif-efisien bagi mahasiswa untuk berkontribusi pada negara dan dunia. Setelah mahasiswa berproses di lingkungan kampus, sudah saatnya berada tepat di jantung kebutuhan zaman, melalui saluran besar kita bersama, yakni PBNU. Inilah arti penting mengapa kader terbaik PMII harus menjadi Ketum PBNU. Kecuali Jika Keluarga Besar PMII sudah mengikhlaskan PBNU di pimpin kader HMI ! Wallahu a’lam bis shawab.

Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.