Hendrika Mayora Trans puan pertama menjadi Anggota BPD - Utustoria Hendrika Mayora Trans puan pertama menjadi Anggota BPD - Utustoria

Hendrika Mayora Trans puan pertama menjadi Anggota BPD

1453
Spread the love

Photo: Hendrika Mayora

Penulis: Made Supriatma

Transpuan Katolik: Dia seorang mantan Bruder. Dalam struktur keagamaan Katolik, Bruder adalah bagian dari rohaniwan. Mereka adalah anggota sebuah kongregasi atau organisasi spiritual. Mereka terikat pada kaul kemiskinan dan ketaatan kepada pimpinannya. Sama seperti Pastur, Bruder juga dituntut melakukan selibat. Mereka tidak menikah dan tidak memiliki keluarga.

Namun berbeda dengan pastur atau diakon, mereka tidak ditahbiskan. Mereka hidup dalam tarekat-tarekat relijius dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sekuler. Banyak dari mereka yang menjadi guru, mengurus rumah-rumah retret, menjadi tukang, dan macam-macam hal yang praktis.

Hendrika Mayora Victoria dulunya adalah seorang Bruder. Dia dulu mengenakan jubah. Namun sekarang, dalam bahasanya sendiri, dia mengenakan daster. Pada usia dewasanya dia mengakui seksualitasnya bahwa dia adalah seorang perempuan.

Saya bisa membayangkan bagaimana hidup sebagai transpuan di dalam masyakat yang sangat patriarkis — Katolik di Flores. Namun itulah kenyataannya. Hendrika menggantungkan jubahnya. Dia memilih mengikuti jiwa dan tubuhnya.

Ini tentu persoalan yang sangat berat. Saya bisa mengerti mengapa dia tidak menemui keluarganya ketika dia memutuskan mengungkap seksualitasnya. Untuk banyak orang, apalagi seperti di Flores, ini bisa menjadi aib keluarga. Namun pada akhirnya, ibunya menerimanya. Ayahnya sudah meninggal.

Dokumenter pendek dari BBC Indonesia ini sangat menyentuh saya. Sekaligus membangkitkan kekaguman dan harapan. Narasi ini adalah narasi orang-orang yang berada di pinggiran, yang tidak sesuai dengan narasi moral besar yang dibingkai institusi masyarakat dan agama.

Saya tidak tahu bagaimana sikap gereja Katolik akan hal ini. Hendrika jelas tidak bisa menjadi Bruder lagi karena dia perempuan. Dia juga tidak bisa menjadi suster. Namun kayaknya dia sudah melepaskan semua atribut relijius itu dan memilih untuk menjadi orang biasa.

JIka Hendrika tidak bisa lagi menjadi bagian dari kaum relijius, maka saya berharap paling tidak Gereja melindungi dia dan kawan-kawannya. Gereja tidak mempersekusinya. Gereja tidak melihatnya dalam kacamata Kanonik yang legalistik tapi melihatnya dengan mata yang humanistik, dengan cinta dan kasih.

Hendrika terpilih menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD), semacam parlemen di tingkat desa. Pemilihnya? Sebagian besar adalah ibu-ibu. Saya mendapat kesan bahwa kaum perempuan menaruh harapan pada dia untuk memajukan kaumnya. Perempuan-perempuan desa yang sederhana ini menaruhkan harapan mereka kepada Hendrika.

Pergulatan Hendrika ini juga membuat saya kembali mengarahkan perhatian pada daerah Sikka di Flores dengan kotanya, Maumere. Kota ini menarik buat saya karena disana ada kelompok marjinal seperti LGBT yang cukup kuat. Yang juga cukup kuat adalah perjuangan petani yang menuntut kembali tanah-tanahnya yang dikuasai oleh gereja. Pada tahun 1965, wilayah Kabupaten Sikka mengalami pembantaian Komunis paling tinggi di Flores. Ini karena konflik-konflik agraria di wilayah itu.

Orang-orang seperti Hendrika akan memperbaiki wajah masyarakat. Kita tidak perlu berbicara muluk-muluk soal toleransi dan hubungan antar-agama. Cukup bila kita memberikan kepada orang haknya untuk menjadi dirinya sendiri; menghormati caranya berdoa dan menyembah Tuhannya; dan menghormati tubuh apapun yang dia rasakan sebagai manusia.

Itulah toleransi. Itulah tanda sebuah masyarakat yang sehat. Mereka mungkin miskin. Mereka mungkin kekurangan. Tapi mereka punya martabat. Mereka melindungi semua anggota yang ada didalamnya dan tumbuh bersama.

Tidak sulit untuk menjadi sebuah masyarakat yang sehat bukan?

Kisah yang sangat mendalam,serta memberikan pencerahan intelektual dan spiritual ini bisa ditonton disini:
https://www.youtube.com/watch?v=oXJph0Ixr0o