Kelas Pekerja Bukan Boneka - Utustoria Kelas Pekerja Bukan Boneka - Utustoria

Kelas Pekerja Bukan Boneka

1019
Spread the love

Photo: Ilustrasi Pekerja, PxHere

Penulis: Dea Safira

Manusia hidup tidak untuk sekadar hidup. Berjuang untuk bertahan hidup (survive) adalah bagian dari hidup. Hidup yang dijalani tanpa perjuangan bertahan hidup adalah kehidupan yang tak layak dijalani.
Satu hal mendasar yang dibutuhkan untuk bertahan hidup adalah makanan. Kemudian, tempat tinggal untuk bernaung dan pakaian guna melindungi tubuh. Kira-kira begitu Abraham Maslow mempiramidkan sirkuit kebutuhan dasar manusia sebelum safety needs, social needs, esteem needs dan teratas self-actualization.

Pemenuhan kebutuhan hidup mendasar didukung oleh unsur sumber daya alam yang memadai. Sebelum isi bumi dikeruk, pohon-pohon ditebang, sungai tercemar limbah pabrik, sawah-sawah diganti gedung pencakar langit, manusia memanfaatkan potensi yang ada dari alam sebagai medium menghidupi hidup tanpa mesti resah bersaing dengan mesin.
Kalau kata si Jared Diamond, itu akibat kolektif manusia sukses mendomestikasi hewan liar dan tanaman sampai bisa dibudidayakan. Lalu, secara perlahan, sejarah manusia mengenal literasi yang kelak bakal jadi penopang penting dalam penemuan serbuk mesiu, senjata, dan baja.

Dalam hal melipat ruang dan waktu, seseorang dengan alat pemotong kayu sederhana bisa menebang satu pohon dalam waktu sehari. Namun, dengan teknologi kiwari, puluhan pohon bisa ditebang bahkan langsung masuk stok gudang untuk didistribusikan ke pabrik. Kayu dengan cepat berubah menjadi kertas di meja kerja dan tanah berganti cepat menjadi jalan tol.
Awalnya, pemenuhan kebutuhan hidup mendasar diprioritaskan pada kebutuhan hidup bersama (komunal). Maka, ada begitu banyak kolektif-kolektif manusia hidup bergotong-royong dan saling menjaga satu sama lain.
Mengapa harus saling menjaga? Karena di periode itu belum ada satu legalitas hukum yang disepakati dan digunakan secara bersama. Satu-satunya hukum yang berlaku adalah “Survival of the fittest”.

Makanya, nggak semua manusia bisa mendapatkan kebutuhan dasar hidup dan nggak semua manusia bisa bertahan hidup tanpa tantangan yang berarti. Mau makan mesti siap-siap perang, mau nyari makan mesti susah-susah berburu.
Akses pemenuhan kebutuhan hidup belum bisa dicapai sepenuhnya oleh setiap kolektif. Mirip seperti kehidupan rimba raya, yang kuat sekaligus berdaya bisa bertahan lebih lama dan berhak atas penghormatan lebih dari yang lemah papah.

Kebutuhan terhadap akses membuat kolektif satu sama lain saling terkoneksi, hubungan sosial antara kolektif satu dan yang lain menjalin kepercayaan sosial hingga bersepakat membentuk aturan-aturan dan menyerahkan mandat perlindungan, keamanan, kepastian atas kesejahteraan yang adil, serta setara pada suatu lembaga tertentu. Tujuannya sederhana, agar para bandit nggak bisa merampok hak milik pribadi.

Semakin majunya sistem sosial, hak milik pribadi perlahan menjadi lebih utama ketimbang kebutuhan kolektif komunal. Dari situ, tibalah suatu masa dimana ada yang menjadi pemilik alat produksi dan ada yang tidak memiliki alat produksi.
Ketidakmilikan alat produksi seolah mengulang jejak perjalanan hidup manusia pada masa lampau, ketika yang lemah pasti tidak berkepemilikan. Sementara, pada periode setelahnya, kerap disebut ada yang mendominasi dan ada yang terdominasi.
Nah, sejak saat itulah, kehidupan manusia terurai dalam dua bagian, kelompok penguasa dan kelompok yang dikuasai. Hak kepemilikan pribadi atas properti menjadi penanda bergesernya cara hidup manusia yang semula kolektif menjadi individu. Keselamatan pribadi dan kemaslahatan individu menjadi yang paling utama.

Hukum dibuat secara bersama-sama buat melindungi hak kepemilikan pribadi dari para pencoleng. Itulah yang sering disebut dengan periode kemunculan property rights.
Kondisi terdesak karena nggak punya apa-apa selain tenaga menggiring manusia berjuang untuk bertahan hidup, dengan menjual tenaganya kepada si pembeli tenaga kerja – pemilik alat produksi.

Era jual-beli tenaga kerja berbeda dengan era sebelumnya saat hukum belum ada dan kelompok orang dikuasai lantaran ada proses penaklukan antara raja satu dengan raja yang lain (feodalisme). Saat ini, pekerja hanya cukup menukarkan 8 jam kerja kepada pemilik alat produksi untuk ditukar dengan sejumlah uang. Soal nasib setelahnya, lebih cenderung ditanggung masing-masing pekerja. Kata para pemilik alat produksi, kan udah dapet gaji?!
Padahal, ada banyak perselingkuhan antara hasrat meraup keuntungan dengan praktik keculasan yang akibatnya justru dirasakan banyak kelompok pekerja, seperti terkunci di dalam pabrik saat api melahap gedung pabrik korek, puluhan ibu hamil keguguran karena harus lembur di pabrik, dan pekerja rela di-PHK secara tiba-tiba karena perusahaan mengaku terus merugi.

Nasib miris kelas pekerja semakin parah dengan melonjaknya cadangan tenaga kerja melimpah yang siap diupah murah dan tanpa payung hukum yang pasti. Ibarat boneka, kelas pekerja juga jadi mainan dan dipermainkan, serta dihadapkan pada kondisi tidak menentu: kalau masih mau kerja harus terima upah rendah, kalau nggak terima ya masih banyak kok tenaga kerja yang lain. Sering denger, kan?
Bekerja adalah hakikat manusia sebagai homo faber. Tapi, kalau ujung-ujungnya malah dikerjain, buat apa?
Nah, supaya nggak pesimis banget dengan keadaan sekaligus menambah kepercayaan diri bahwa dunia masih bisa berganti rupa, sepertinya tepat yang dibilang Alan Lightman, “Kesejahteraan dan kebutuhan adalah konsep yang betul-betul relatif. Tak ada kemiskinan, penderitaan, kedukaan mutlak. Semuanya relatif.”

Terperosok dalam kondisi krisis dan kemiskinan bukanlah akhir dari segalanya. Semua masih bisa berganti rupa, dan kelas pekerja bukanlah boneka. Memang Kekeyi aja yang bukan boneka?