LEBARAN DI TOILI: KADO KETUPAT DAN PANDEMI - Utustoria LEBARAN DI TOILI: KADO KETUPAT DAN PANDEMI - Utustoria

LEBARAN DI TOILI: KADO KETUPAT DAN PANDEMI

1700
Spread the love

Photo: Ilustrasi, Kado Lebaran

Penulis: Sucipto

“Siapa sih nama korban kemarin? sudah beli baju baru belum dia?”

Mulanya saya tak pernah sedikitpun punya rasa kwatir, bahkan sempat berfikir kalau pun “ada” tak akan seheboh di Kota-kota besar. Prediksi saya meleset, kahidupan di Desa ini kian maju dan modernis. Bagaimana tidak, sejak setiap orang mengenal media sosial informasi yang ntah salah atau benar akan dikonsumsi seperti wahyu yang turun ke tangan nabi. setelah ramai di dunia maya, nyebar ke dunia nyata nantinya sebagai bahan cerita ketika nglencer. Benar saja, ternyata pertanyaan klasik “kapan nikah”? tertutup padat dengan cerita tentang pandemi ini. sedikit banyak kita kenal dengan sebutan Corona.

Kegagapan informasi dimasyarakat ditambah dengan eksis ajang adu argumen di facebook membuat saya sering meriang. Asal Screenshot, asal komen, asal membagikan tanpa menjelaskan dengan hati yang terdalam. Zona merah yang disematkan pada daerah tertentu memicu stigma keadaan masyarakat itu sendiri. Stigma yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pandangan negatif pada seseorang karena pengaruh lingkungan. Sebut saja Moilong, salah satu daerah zona merah yang belakangan menjadi bahan obrolan ketika nglencer, yang alih-alih menjadi daerah dengan predikat bahaya. Saya harus mengakui bahwa betapa Corona dalam berita di TV merupakan momok yang harus diwaspadai, sama halnya mewaspadai mantan boncengan dengan suaminya sambil senyum menekan-nekan klakson motornya pas lewat depan rumah. Buyaar!. Saya sedang memfokuskan bacaan bahwa humanity atau rasa kemanusiaan harus tetap nomer satu. Tidak mengucilkan korban, memberikan pandangan buruk kepada keluarganya dan membuat label sebagai daerah yang berbahaya. Akibatnya bisa beragam, korban kini tak percaya diri lagi, sanak keluarga menerima aib dan dijauhi. Padahal, kalau kita benar-benar merasakan apa yang dimaksud dengan welas asih kita tidak perlu melakukan itu di media sosial.  Seoalah ada sekat yang panjang antara yang satu dengan yang lain. Yang pusat dengan yang pinggir, yang kaya dengan yang miskin, yang terdidik dengan yang tidak, yang sehat dan yang terkena corona, juga yang ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. pengen misoh rasane.

Patut kita sama-sama sayangkan fenomena ini bukan hanya tentang banyak atau sedikit korban positif, lebih menjurus keprihal bagaimana kita ikut serta dalam menekan munculnya korban baru; cuci tangan, pakai masker dan jaga jarak. Berperan dalam menekan gelombang panik, memberi semangat kepada korban dan keluarga, tidak menjauhi dan mengucilkan, atau terlebih mencoba menghindarinya dalam kehidupan bersosial. Paling ringan contohnya ya ketika nanti korban sudah sehat biarkan ia membeli baju baru yang ia tunda ketika lebaran. Pasti pengalaman paling berat ketika harus mendengar gema takbir hanya melalui kaca jendela ruang isolasi. Atau tidak, ini pengalaman pertama tak mampu sungkem dengan Orang tuanya, berjabat tangan dengan budenya, pakdenya sampai tetangga yang sering ngasih duit semasa kecil.

Sebagaimana kita pahami tentang Hari Raya Idul Fitri, atau sederhananya tentang lebaran yang selalu identik dengan kue, baju baru, ketupat, dan sprite, tahun ini rasanya tak sebergairah tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini akan jadi pengalaman yang tumbuh dan membawa traumatis dimasa mendatang. Mempengaruhi akademisi, politisi, praktisi dan anak-anak kecil yang harus naik turun cuci tangan ketika nglencer yang akhirnya merubah pola fikir bahwa lebaran bukan hanya tentang sangu, dan jajan enak. lebih luas lagi adalah mempengaruhi bagaimana anak-anak ini memandang dunia. Sebelum tiba pada kesadaran dewasanya, anak-anak kecil itu mungkin harus siap bahwa lebaran tahun ini pendapatan sangu dikantongnya menurun. Grafik pendapatan sangu tahun-tahun sebelumnya fluktuatif, dengan adanya pandemi ini anak-anak kecil harus menyerah. “Rumah-rumah tetangga banyak yang tutup, sanak keluarga pun demikian yang mengakibatkan inflasi sangu lebaran kita, padahal nilai tukar dolar mengalami deflasi”  gumam anak kecil itu.

Kalau akhirnya media sosial, televisi, radio dan berbagai sumber informasi lainya selalu membeberkan jumlah kasus baru pasien positif, pasien dirawat dan korban meninggal, maka perlu adanya penyeimbang. Bisa jadi karna hal itu kita melupakan bahwa ketupat, buras, yang ketika disandingkan dengan opor ayam, rendang dapat melupakan persoalan sulit dalam hidup. Sumber informasi itu harusnya menampilkan berapa banyak jenis menu yang patut disandingkan dengan lontong, ketupat dan buras itu. Seimbang karena tak ada gelombang kepanikan, tak ada stigma, malah justru korban pasien di ruang isolasi lebih kepingin tapi lagi ketiban sial.

Saya yakin bahwa vaksin pandemi ini ada pada makanan lebaran, cuman banyak ahli menyangkal dan belum membuktikan kalau ketupat, buras atau bisa jadi Nasi bulu adalah obat mujarab. Mari bertaruh, pasti para pasien positif itu sampai ke team medis yang sibuk  itu senyum dan gembira membuka sarapan mereka dengan adanya menu itu. Karna senyum adalah ungkapan kegembiraan yang tak dimiliki orang sakit. Hanya saja bagi saya jangan memberikan senyum dengan terlalu, karna senyum saja belum tentu dibalas, gimana chat whatsApp.